Kamis, 17 Januari 2013

Sepenggal Kisahku Denganmu





Sayup sayup terdengar suara khas Coldplay dengan Strawberry Swing-nya yang mengalun lembut. Membawaku menjelajahi memoriku di masa lalu. Aku masih di sini menikmati hangatnya cappucino dengan sedikit kudapan tiramishu, favoritku. Di luar sana hujan turun dengan perlahan. Membuat setiap orang kepayahan, mencari tempat berlindung. Perlahan namun pasti bertambah deras. Yah, ini memang Desember dengan curah hujan yang belum pasti. Aku menikmati hujanku dengan penuh suka cita. Kembali aku memandang ke dalam ruangan ini, sepertinya belum banyak berubah semenjak terakhir aku mengunjungi cafĂ© ini, kecuali patung seperti arca yang diletakkan didekat kasir. Wallpaper-nya masih sama,merah dengan aksen bambu bambu kecil, dengan pencahayaan sedikit remang yang indah nan romantis. Aku mendengar banyak langkah kaki masuk dari pintu masuk. Menunggu redanya hujan sambil menikmati secangkir kopi hangat akan sangat membantu mengusir hawa dingin yang datang menerpa. Ku pejamkan mata untuk lebih menikmati perpaduan musik alam dengan musik yang tercipta dari tangan manusia. Aku mencium wangi yang tak asing bagiku, wangi yang begitu ku kenal, wangi yang mampu jantungku berdebar begitu kencang, mendengar suara yang begitu merdu, suara yang sangat kurindukan, suara yang mampu menghapus segala cemas, takut, sedih, suara…
“ Tolong 1 cappucino dan 1 tiramishu “
“ Ada lagi tuan? “
“ Tidak, terima kasih “
            Aku tercekat, suara itu begitu nyata, begitu jelas, begitu dekat. Ah, ya Tuhan, dari pantulan kaca aku melihat sesosok pria yang selama ini menghantui mimpi-mimpiku, membuat aku gelisah dan menangis disepanjang tahun-tahun kemarin. Pria yang begitu kucintai apa adanya, pria yang begitu mencintaiku pula. Aku kehilangan tenaga untuk mampu bergerak lebih, semua terasa lumpuh, otot-otot pernafasanku terbius, tak mampu bekerja. Pria itu menatap kearah yang sama denganku, namun bukan pantulanku yang ada di matanya. Matanya menerawang melewati kaca, melewati hujan.
“ Ya, ayah?”
“ Ayah, aku telah berulang kali mengatakannya, bukan? Kami tidak akan pernah menikah. Kami sudah menentukannya. Kami hanya berteman. “
“ Aku tahu ayah, meski ke ujung dunia sekalipun aku akan terus mencarinya. Tolong jangan membuat semua ini terasa lebih sulit, ayah. Aku merasa sudah dekat dengan pencarianku, ayah. Hatiku yang berkata.”
Apakah dia merasakan hal yang sama? Semua terasa seolah berhenti sejenak.
“ Ayah aku merasa harus menutup telefon. Aku tak mau pembicaraan kita  berakhir seperti kemarin. Maafkan aku.”
“ Ya ayah. Aku tahu. Sampaikan salamku pada ibu. Mungkin minggu depan aku akan mengunjungi kalian.”
Haaaahhhhh….
“ Silakan tuan.”
“Terima kasih.”
Aku masih tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Kami duduk saling memunggungi. Aku sudah tidak berselera lagi dengan hidangan di depanku. Aku harus segera pergi dari sini. Aku tidak sanggup berlama-lama di sini. Namun, bagaimana caranya supaya dia tak mengenaliku?
Aku  memutuskan mengganti kacamata minusku dengan kacamata hitam. Apa ini ekstrim? Tunggu, mungkin aku punya sesuatu yang mungkin bisa menyamarkan? Ah ya ini mungkin bisa membantu, topi rajut, di luar hujan sudah tidak sederas tadi.
“Aku harus kuat, tidak boleh gemetar,” tegasku.
Perlahan aku mulai bangkit setenang mungkin, langkah demi langkah terasa sangat berat. Aku merasa tatapannya mengikutikku.
“Tolong, tagihan untuk meja nomor 8.”
“Silakan nona.”
“Pakai kartu ini saja, sekalian untuk tagihan meja nomor 10.”
“Baik, tuan. Mohon tunggu sebentar.”
Aku hanya terdiam, tak bergerak. Suaranya menyihirku. Terasa olehku tangannya menggenggam tanganku yang masih tertahan di meja kasir.
“Tolong jangan pergi lagi, aku seperti orang gila mencarimu kesana kemari.”
Aku menoleh kepadanya, aku harus mengembalikan kesadaranku sepenuhnya, setenang mungkin.
“Maaf? Sepertinya anda salah orang.”
“Benarkah? “
Dengan tiba tiba dia menciumku. Ciuman yang begitu manis, sulit untuk kutolak. Tubuhku menghianatiku. Aku meleleh. Aku menikmatinya, aku merindunya, aku memujanya, aku membutuhkannya.
“Aku sudah tahu jawabannya.”
“A-aku…”
“Ssssstttt…ikutlah denganku. Aku ingin menunjukkan sesuatu.”
“Maaf tuan, ini kartu anda, mohon tanda tangan disini…., terima kasih.”
Tanpa perlawanan yang berarti dia menyeretku menuju parkiran, memakaikanku jaket dan helm, menaikkanku ke motornya. Dia memacu motornya lebih kencang di jalanan yang sepi karena hujan belum sepenuhnya berhenti. Dia tak menjawab pertanyaanku akan kemanakah dia membawaku.aku hanya diberinya genggaman erat saat kami berhenti di lampu lalu lintas.
Pohon-pohon cemara ada di sekeliling kami ketika dia membawaku meninggalkan kota. Dia tetap tak berkata apapun hingga kami berhenti di depan sebuah rumah sedikit bergaya Victoria yang cukup asri, sedikit tua, halamannya luas, ada air terjun mini yang diapit patung wanita disisinya. Teras depannya cukup luas untuk menampung 2 mobil dengan pilar-pilar yang tinggi.
Dia menurunkanku tepat di depan pintu utama, melepas jaket dan helmku, sekali lagi menciumku dengan manis,dia membawaku masuk. Aku tertegun dengan apa yang aku lihat di dalamnya. Ini begitu indah, sangat indah. Melangkah menuju pusat rumah aku tertegun dengan sederet foto-fotoku di sebuah meja besar. Dia masih menyimpannya. Ya, dia dulu adalah fotografer. Katanya akulah objek foto yang tak pernah membuat dia bosan. Sekali lagi aku tertegun melihat potretku ada di lantai pusat rumah, pose terakhirku untuknya dengan gaun pengantin. Di dinding ruangan aku melihat potretku di alam terbuka, salah satu favoritnya. Aku ingat saat itu dia membawaku ke padang rumput yang luas, yang sedang berbunga. Dia menyuruhku berjalan ke depan, menuju pusat, aku bahagia saat itu. Dibelakangku dia memotretku, tanpa arahan pose darinya, semua begitu alami dan natural.
Aku kembali ke kehidupan saat ini. Dia tak lagi ada dihadapanku. Dia telah memeluk aku dari belakang, mencium bahuku sekali lagi.
“Indah,bukan? Namun ini semua tak seindah dirimu. Ini semua milikmu. Karena kau milikku. Akan dan selalu menjadi milikku.”
“Frans, tolong lepaskan aku. Ini sudah lama berlalu. Jangan seperti ini. Ini…”
Tubuhku diputar menghadap dirinya, tangannya masih tak lepas dari pinggangku. Tubuhnya mengeras seperti batu. Tatapannya menajam.
“Aku tak akan dan tak ingin melepaskanmu. Aku tau kau selalu mencintaiku.”
“Tapi aku ingin lepas, aku sudah tak mencintaimu lagi.”
Air mataku jatuh perlahan, aku tak mampu memandang matanya, aku takut dia melihat sesuatu di sana.
“Mengapa kau ingin pergi dariku? Apakah aku menyakitimu?”
“Jawab aku! Aku terlalu buruk untukmu? Aku berjanji akan menurutimu, tapi tolong jangan pergi dariku.”
Dia merosot ke lantai, mencium telapak kakiku.
“Tolong jangan begini. Hidupku sudah hancur, Frans. Aku tak layak lagi untukmu. Kamu terlalu baik untukku. Kamu sempurna,Frans.
Aku merosot ke lantai. Dia meraihku ke dalam pelukannya, aku merasakan air matanya jatuh  dibahuku. Kami menangis bersama hingga kehabisan air mata.
“Tolong jangan sebut dirimu tak layak untukku. Kamu sempurna, Neta. Aku mencintaimu. Apapun adanya dirimu. Aku tak peduli akan hal lain!”
“Akan aku tinggalkan seluruh dunia demi bersamamu, aku tak sanggup lagi bila tak bersamamu. Aku mencintaim, demi Tuhan, aku mencintaimu.”
“Aku juga Frans, aku mencintaimu, sangat mencintaimu.”
Dalam tangis kami tersenyum bersama, aku menyadari sekuat apapun aku menjauh darinya. Cintanya selalu membuat aku kembali.
Dia membantuku berdiri, menuju kamar utama, dia memberiku baju dari salah satu lemarinya.
Setelah selesai berganti pakaian aku menghampirinya yang telah selesai berganti pakaian juga. Dia sudah segar dan muda. Dia menarikku meringkuk dalam pelukannya.
“Dingin?”
“Tidak. Aku cukup hangat disini. Kamu menghangatkanku. Selalu.”
Kami tertawa bersama. Ringan. Mendengar suara pintu diketuk. Adakah orang lain di rumah ini?
Dia beranjak untuk membuka pintu, aku mengiringinya.
“Ini makanannya tuan.”
“Terima kasih bi. Kamu bisa beristirahat.”
“Baik tuan. Selamat malam nyonya”
“Selamat malam bi.”
“Mari makan nyonya Frans. Ini masakan kesukaan anda. Nasi goring tanpa kecap”
“Mari tuan Frans. Ini keliatannya lezat.”
Aku mengambil sesendok ketika dia menutup pintu. Dia pura-pura cemberut.kami menghabiskan makan malam kami sambil berpelukan. Dan kami tak pernah lepas satu sama lain hingga pagi menjelang.
“Dimana kau tinggal selama ini?”
“Aku tinggal di kota sebelah. Aku belajar mendesain dan menjahit baju. Aku selalu mengikuti perkembanganmu sebagai seorang fotografer  handal yang selalu dingin sikapnya, padahal tak sedikit model dan artis yang tertarik denganmu.”
 “Anda terlalu memuji pekerjaan saya nyonya. Hanya anda yang mampu membuat saya tunduk.”
Aku hanya memeluknya membalas perkataannya.
“Aku tak suci lagi Frans. Aku diperkosa. aku tak layak untukmu.”
“Jangan pernah berfikir seperti itu. Dimana orang yang telah membuatmu pergi dariku? Aku akan membunuhnya!”
“Jangan lumuri tanganmu dengan dosa. Dia telah menerima ganjarannya. Dia telah menerima akibatnya. Dia tak bisa melihat lagi.”
“Dia pantas mendapatkannya. Dimana dia sekarang? ”
“Aku akan mengunjunginya hari ini. Dia mengalami kecelakaan hebat saat akan menemuiku untuk meminta maaf. Seseorang menceritakannya padaku. Wanita itu sangat mencintainya, bahkan ketika pria yang dicintainya sama sekali tak melihatnya dan tak mempedulikannya.”
“Tolong maafkan dia, Frans.”
“Huh, aku tak percaya kau memintaku memaafkannya, untuk apa?”
“Karena aku telah memaafkannya untukmu, dirimu. Kamu juga harus memaafkannya.”
“Aku akan memaafkannya asal kau mau berjanji tak akan meninggalkanku lagi hingga akhir hayat kita, sebagai nyonya Frans?”
“Kau melamarku? Sungguh romantisnya dirimu ,huh?”
“Ini hanya penegasan nyonya. Bukankah saya telah melamar anda sebelum anda meninggalkan saya. Cincin ini buktinya.”
Dia memainkan cincin yang tak pernah aku lepas semenjak pertama aku memakainya. Cincin dari bahan titanium hitam yang dia rancang sendiri. Bodohnya aku, setenang apapun aku kemarin, secerdik apapun penyamaranku, dia akan tetap mengenaliku dari cincin ini. Aku menciumnya singkat.
“Ayo, kita bersiap-siap. Aku akan mengantarkanmu  menemui mereka yang cintanya sama kuatnya dengan kita.”
“Demi dirimu nyonya Frans.”
“Demi dirimu tuan Frans.”
***
“Apapun yang kau lihat aku ingin kau menjaga emosimu. Aku akan terus menggenggam tanganmu. Aku ingin kita saling menguatkan. Aku membutuhkanmu untuk menguatkanku.”
“Okay.”
Aku bisa merasakan kegugupnnya. Dia gelisah. Tangan kami berkeringat.
“Kak Galaxy, Soraya,…?”, suaranya yang tak lebih dari desisan.
“Dia..?”
“Ya, Frans”
“Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa?”, Frans menggeleng tak percaya.
“Dia saat itu sedang mabuk, Frans.”
“Tapi dia kakakku! Dia tahu bagaimana aku mencintaimu. Bagaimana aku berjuang mendapatkanmu.”
“Frans, dia tak sengaja. Kumohon percaya padanya.”
“Kau yakin itu? Segampang itu? Kau memang terlalu baik, Neta.”
“Ya. Segampang itu karena dia kakak dari orang yang mencintaiku. Aku melihat sedikit bagian dari dirimu setiap aku marah kepadanya.”
“Aku minta maaf atas kelakuan kakakku, Neta. Aku bingung.”
“Kita bisa menghadapinya.  Dia sudah minta maaf padaku. Kamu lihat keadaanya sekarang? Dia rapuh, buta. Itu sudah lima tahun yang lalu.”
“Apa dia kecelakaan setahun yang lalu? Dia menghilang sejak saat itu, namun dia masih mengirimi aku email.”
“Soraya yang melakukannya. Dia sangat mencintai kakakmu sejak kecil. Dia juga terluka atas apa yang menimpaku. Dia juga tak bisa meninggalkan kakakmu. Apapun keadaan kakakmu, dia selalu mendampinginya. Kakakmu dulu menolaknya, karna dia merasa tak pantas untuk Soraya. Soraya bukan gadis lemah. Dia meyakinkan kakakmu yang putus asa untuk menerimanya sebagai pendamping. Hingga akhirnya dia pun menyadari Soraya adalah cinta sejatinya.”
“Aku tak tahu aku harus bagaimana menyikapi ini semua?”
“Apa kau keberatan dengan statusku yang sudah tak perawan?”
 “Apa? Bukan itu. Aku mencintaimu karena kamu Arneta Nias. Aku tak perduli bagaimana keadaanmu sekarang.”
“Aku mencintaimu Fransha Prahardi.”
“Kau ingin menemui mereka?”
“Aku tak mau membuat kakakmu menangis, menyesali perbuatannya dimasa lalu, di depan istrinya.”
“Mereka sudah menikah? Kenapa aku tak tahu?”
“Mereka sudah menikah tiga bulan yang lalu. Ayah Soraya sudah tahu bahwa yang sebenarnya yang dicintai Soraya bukan dirimu tapi Galaxy. Orang tua kalian salah paham atas kedekatanmu dan dia.”
“Soraya hanya bilang dia mencintai seseorang dan akan menikah dalam waktu dekat. Tapi dia tak pernah berkata padaku bahwa calon suaminya adalah Galalxy.”
“Resepsi pernikahan mereka memang akan diadakan setelah Galaxy pulang dari Jerman untuk pengobatan matanya. Kami memutuskan untuk menutup semua rahasia ini demi kebaikan kita semua. Ayahnya tak pernah tahu apa yang telah Galaxy perbuat padaku, yang dia tahu Galaxy kecelakaan mobil dan ada sedikit kerusakan di matanya. Aku harap kau juga melakukan hal yang sama.”
“Tentu sayang.”
“Mereka akan berangkat ke Jerman tanggal 13 bulan depan.”
“Hari pernikahan kita.”
“Apa? Kau bercanda bukan?”
“Apa ada yang salah? Aku ingin menikahimu secepatnya. Aku ingin menikah di rumah kita. Dan renovasi kebun belakang akan selesai paling cepat minggu depan.”
“Jadi bersediakah kau menikah denganku pada tanggal 13 bulan depan?”
“Kau memintaku menikahimu dengan berjongkok di depanku di tengah taman rumah sakit? Kau membuatku malu. Bangunlah?”
“Apa?”
Raut mukanya menegang. Hal itu membuat senyumku berkembang.
“Apakah nantinya cincin hanya akan tersimpan di kotak perhiasan. Tidakkah kau lihat ini sangat cantik?”
Dia terkejut atas ucapanku. Seketika itu juga dia memelukku.
“Tidak. Tidak akan berakhir di kotak perhiasan. Dia akan berakhir di jari tengahmu. Aku mencintaimu Neta”
“Aku mencintaimu Frans”
***
Pernikahan Frans dan Arneta digelar di rumah impian mereka. Akhad nikah dilaksanakan pagi hari dan langsung dilanjutkan pesta kebun sebagai pesta resepsi. Seluruh keluarga, teman, kenalan, saudara-saudara hadir untuk merestui pernikahan mereka hanya Galaxy dan Soraya yang tidak hadir, karena mereka telah terbang ke Jerman. Soraya  mengirimkan sebuah gaun pengantin yang indah untuk dipakai Neta saat pesta kebun. Pesta berlangsung meriah hingga sore menjelang. Mereka harus meninggalkan pesta untuk berangkat ke Pulau Mediterania, tempat bulan madu mereka. Seluruh peserta pesta berat melepas kepergian mereka.
***
“Sudahlah Soraya, ini sudah dua tahun kepergian mereka. Biarkan mereka tenang disana.”
“Kenapa Tuhan mengambil mereka secepat ini. Kenapa saat mereka baru saja sah sebagai suami istri? Tidakkah Tuhan melihat banyaknya rintangan yang telah mereka alami?”
Soraya menangis seraya meletakkan sebuah karangan bunga mawar putih di tengah 2 buah nisan.
“Mari kita doakan mereka. Mereka lebih bahagia di sana. Kita kabari mereka bahwa keponakan kembarnya telah lahir dengan selamat.”
Soraya tak kuat berdiri, dia bersandar dalam pelukan suaminya sambil membacakan doa. Tak jauh dari tempat mereka berdoa ada sepasang suami istri berpakaian memperhatikan mereka yang sedang berdoa.
“ Aku merasa bersalah terhap mereka dan keluarga yang lain. Apa ini tidak apa apa?”ujar sang wanita.
“Aku juga. Suatu saat jika kita telah siap kita akan menemui mereka. Kita tetap akan menemui mereka”, ujar sang lelaki.
“Siap untuk pergi nyonya Frans?”
“Kapanpun kau minta tuan Frans.”

***
The End

5 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. ini komentar kenapa pada diapus??

    naoki lanjutin ceritanya yah, like it,,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe mb adminny kumat errornya n kebodohanny,,,
      bginilah jdnya,,,
      xixixixi
      maaf buat semuanya,,,

      Hapus

mohon masukannya, kritik pun boleh

boleh,boleh,boleh...