Sayup sayup
terdengar suara khas Coldplay dengan Strawberry Swing-nya yang mengalun lembut.
Membawaku menjelajahi memoriku di masa lalu. Aku masih di sini menikmati
hangatnya cappucino dengan sedikit kudapan tiramishu, favoritku. Di luar sana
hujan turun dengan perlahan. Membuat setiap orang kepayahan, mencari tempat
berlindung. Perlahan namun pasti bertambah deras. Yah, ini memang Desember
dengan curah hujan yang belum pasti. Aku menikmati hujanku dengan penuh suka
cita. Kembali aku memandang ke dalam ruangan ini, sepertinya belum banyak
berubah semenjak terakhir aku mengunjungi café ini, kecuali patung seperti arca
yang diletakkan didekat kasir. Wallpaper-nya masih sama,merah dengan aksen
bambu bambu kecil, dengan pencahayaan sedikit remang yang indah nan romantis.
Aku mendengar banyak langkah kaki masuk dari pintu masuk. Menunggu redanya
hujan sambil menikmati secangkir kopi hangat akan sangat membantu mengusir hawa
dingin yang datang menerpa. Ku pejamkan mata untuk lebih menikmati perpaduan
musik alam dengan musik yang tercipta dari tangan manusia. Aku mencium wangi
yang tak asing bagiku, wangi yang begitu ku kenal, wangi yang mampu jantungku
berdebar begitu kencang, mendengar suara yang begitu merdu, suara yang sangat
kurindukan, suara yang mampu menghapus segala cemas, takut, sedih, suara…
“ Tolong 1
cappucino dan 1 tiramishu “
“ Ada lagi tuan?
“
“ Tidak, terima
kasih “
Aku tercekat, suara itu begitu
nyata, begitu jelas, begitu dekat. Ah, ya Tuhan, dari pantulan kaca aku melihat
sesosok pria yang selama ini menghantui mimpi-mimpiku, membuat aku gelisah dan
menangis disepanjang tahun-tahun kemarin. Pria yang begitu kucintai apa adanya,
pria yang begitu mencintaiku pula. Aku kehilangan tenaga untuk mampu bergerak
lebih, semua terasa lumpuh, otot-otot pernafasanku terbius, tak mampu bekerja.
Pria itu menatap kearah yang sama denganku, namun bukan pantulanku yang ada di
matanya. Matanya menerawang melewati kaca, melewati hujan.
“ Ya, ayah?”
“ Ayah, aku
telah berulang kali mengatakannya, bukan? Kami tidak akan pernah menikah. Kami
sudah menentukannya. Kami hanya berteman. “
“ Aku tahu ayah,
meski ke ujung dunia sekalipun aku akan terus mencarinya. Tolong jangan membuat
semua ini terasa lebih sulit, ayah. Aku merasa sudah dekat dengan pencarianku,
ayah. Hatiku yang berkata.”
Apakah dia
merasakan hal yang sama? Semua terasa seolah berhenti sejenak.
“ Ayah aku
merasa harus menutup telefon. Aku tak mau pembicaraan kita berakhir seperti kemarin. Maafkan aku.”
“ Ya ayah. Aku
tahu. Sampaikan salamku pada ibu. Mungkin minggu depan aku akan mengunjungi
kalian.”
Haaaahhhhh….
“ Silakan tuan.”
“Terima kasih.”
Aku masih tak
percaya dengan apa yang barusan terjadi. Kami duduk saling memunggungi. Aku
sudah tidak berselera lagi dengan hidangan di depanku. Aku harus segera pergi
dari sini. Aku tidak sanggup berlama-lama di sini. Namun, bagaimana caranya
supaya dia tak mengenaliku?
Aku memutuskan mengganti kacamata minusku dengan
kacamata hitam. Apa ini ekstrim? Tunggu, mungkin aku punya sesuatu yang mungkin
bisa menyamarkan? Ah ya ini mungkin bisa membantu, topi rajut, di luar hujan
sudah tidak sederas tadi.
“Aku harus kuat,
tidak boleh gemetar,” tegasku.
Perlahan aku
mulai bangkit setenang mungkin, langkah demi langkah terasa sangat berat. Aku
merasa tatapannya mengikutikku.
“Tolong, tagihan
untuk meja nomor 8.”
“Silakan nona.”
“Pakai kartu ini
saja, sekalian untuk tagihan meja nomor 10.”
“Baik, tuan.
Mohon tunggu sebentar.”
Aku hanya
terdiam, tak bergerak. Suaranya menyihirku. Terasa olehku tangannya menggenggam
tanganku yang masih tertahan di meja kasir.
“Tolong jangan
pergi lagi, aku seperti orang gila mencarimu kesana kemari.”
Aku menoleh
kepadanya, aku harus mengembalikan kesadaranku sepenuhnya, setenang mungkin.
“Maaf?
Sepertinya anda salah orang.”
“Benarkah? “
Dengan tiba tiba
dia menciumku. Ciuman yang begitu manis, sulit untuk kutolak. Tubuhku menghianatiku.
Aku meleleh. Aku menikmatinya, aku merindunya, aku memujanya, aku
membutuhkannya.
“Aku sudah tahu
jawabannya.”
“A-aku…”
“Ssssstttt…ikutlah
denganku. Aku ingin menunjukkan sesuatu.”
“Maaf tuan, ini
kartu anda, mohon tanda tangan disini…., terima kasih.”
Tanpa perlawanan
yang berarti dia menyeretku menuju parkiran, memakaikanku jaket dan helm,
menaikkanku ke motornya. Dia memacu motornya lebih kencang di jalanan yang sepi
karena hujan belum sepenuhnya berhenti. Dia tak menjawab pertanyaanku akan
kemanakah dia membawaku.aku hanya diberinya genggaman erat saat kami berhenti
di lampu lalu lintas.
Pohon-pohon
cemara ada di sekeliling kami ketika dia membawaku meninggalkan kota. Dia tetap
tak berkata apapun hingga kami berhenti di depan sebuah rumah sedikit bergaya
Victoria yang cukup asri, sedikit tua, halamannya luas, ada air terjun mini
yang diapit patung wanita disisinya. Teras depannya cukup luas untuk menampung
2 mobil dengan pilar-pilar yang tinggi.
Dia menurunkanku
tepat di depan pintu utama, melepas jaket dan helmku, sekali lagi menciumku
dengan manis,dia membawaku masuk. Aku tertegun dengan apa yang aku lihat di
dalamnya. Ini begitu indah, sangat indah. Melangkah menuju pusat rumah aku
tertegun dengan sederet foto-fotoku di sebuah meja besar. Dia masih
menyimpannya. Ya, dia dulu adalah fotografer. Katanya akulah objek foto yang
tak pernah membuat dia bosan. Sekali lagi aku tertegun melihat potretku ada di
lantai pusat rumah, pose terakhirku untuknya dengan gaun pengantin. Di dinding
ruangan aku melihat potretku di alam terbuka, salah satu favoritnya. Aku ingat
saat itu dia membawaku ke padang rumput yang luas, yang sedang berbunga. Dia
menyuruhku berjalan ke depan, menuju pusat, aku bahagia saat itu. Dibelakangku
dia memotretku, tanpa arahan pose darinya, semua begitu alami dan natural.
Aku kembali ke
kehidupan saat ini. Dia tak lagi ada dihadapanku. Dia telah memeluk aku dari
belakang, mencium bahuku sekali lagi.
“Indah,bukan?
Namun ini semua tak seindah dirimu. Ini semua milikmu. Karena kau milikku. Akan
dan selalu menjadi milikku.”
“Frans, tolong
lepaskan aku. Ini sudah lama berlalu. Jangan seperti ini. Ini…”
Tubuhku diputar
menghadap dirinya, tangannya masih tak lepas dari pinggangku. Tubuhnya mengeras
seperti batu. Tatapannya menajam.
“Aku tak akan
dan tak ingin melepaskanmu. Aku tau kau selalu mencintaiku.”
“Tapi aku ingin
lepas, aku sudah tak mencintaimu lagi.”
Air mataku jatuh
perlahan, aku tak mampu memandang matanya, aku takut dia melihat sesuatu di
sana.
“Mengapa kau
ingin pergi dariku? Apakah aku menyakitimu?”
“Jawab aku! Aku
terlalu buruk untukmu? Aku berjanji akan menurutimu, tapi tolong jangan pergi
dariku.”
Dia merosot ke
lantai, mencium telapak kakiku.
“Tolong jangan
begini. Hidupku sudah hancur, Frans. Aku tak layak lagi untukmu. Kamu terlalu
baik untukku. Kamu sempurna,Frans.
Aku merosot ke
lantai. Dia meraihku ke dalam pelukannya, aku merasakan air matanya jatuh dibahuku. Kami menangis bersama hingga
kehabisan air mata.
“Tolong jangan
sebut dirimu tak layak untukku. Kamu sempurna, Neta. Aku mencintaimu. Apapun
adanya dirimu. Aku tak peduli akan hal lain!”
“Akan aku
tinggalkan seluruh dunia demi bersamamu, aku tak sanggup lagi bila tak
bersamamu. Aku mencintaim, demi Tuhan, aku mencintaimu.”
“Aku juga Frans,
aku mencintaimu, sangat mencintaimu.”
Dalam tangis
kami tersenyum bersama, aku menyadari sekuat apapun aku menjauh darinya.
Cintanya selalu membuat aku kembali.
Dia membantuku
berdiri, menuju kamar utama, dia memberiku baju dari salah satu lemarinya.
Setelah selesai
berganti pakaian aku menghampirinya yang telah selesai berganti pakaian juga.
Dia sudah segar dan muda. Dia menarikku meringkuk dalam pelukannya.
“Dingin?”
“Tidak. Aku
cukup hangat disini. Kamu menghangatkanku. Selalu.”
Kami tertawa
bersama. Ringan. Mendengar suara pintu diketuk. Adakah orang lain di rumah ini?
Dia beranjak
untuk membuka pintu, aku mengiringinya.
“Ini makanannya
tuan.”
“Terima kasih
bi. Kamu bisa beristirahat.”
“Baik tuan.
Selamat malam nyonya”
“Selamat malam
bi.”
“Mari makan
nyonya Frans. Ini masakan kesukaan anda. Nasi goring tanpa kecap”
“Mari tuan
Frans. Ini keliatannya lezat.”
Aku mengambil
sesendok ketika dia menutup pintu. Dia pura-pura cemberut.kami menghabiskan
makan malam kami sambil berpelukan. Dan kami tak pernah lepas satu sama lain
hingga pagi menjelang.
“Dimana kau
tinggal selama ini?”
“Aku tinggal di
kota sebelah. Aku belajar mendesain dan menjahit baju. Aku selalu mengikuti
perkembanganmu sebagai seorang fotografer
handal yang selalu dingin sikapnya, padahal tak sedikit model dan artis
yang tertarik denganmu.”
“Anda terlalu memuji pekerjaan saya nyonya.
Hanya anda yang mampu membuat saya tunduk.”
Aku hanya
memeluknya membalas perkataannya.
“Aku tak suci
lagi Frans. Aku diperkosa. aku tak layak untukmu.”
“Jangan pernah
berfikir seperti itu. Dimana orang yang telah membuatmu pergi dariku? Aku akan
membunuhnya!”
“Jangan lumuri
tanganmu dengan dosa. Dia telah menerima ganjarannya. Dia telah menerima
akibatnya. Dia tak bisa melihat lagi.”
“Dia pantas
mendapatkannya. Dimana dia sekarang? ”
“Aku akan
mengunjunginya hari ini. Dia mengalami kecelakaan hebat saat akan menemuiku
untuk meminta maaf. Seseorang menceritakannya padaku. Wanita itu sangat
mencintainya, bahkan ketika pria yang dicintainya sama sekali tak melihatnya
dan tak mempedulikannya.”
“Tolong maafkan
dia, Frans.”
“Huh, aku tak
percaya kau memintaku memaafkannya, untuk apa?”
“Karena aku
telah memaafkannya untukmu, dirimu. Kamu juga harus memaafkannya.”
“Aku akan
memaafkannya asal kau mau berjanji tak akan meninggalkanku lagi hingga akhir
hayat kita, sebagai nyonya Frans?”
“Kau melamarku?
Sungguh romantisnya dirimu ,huh?”
“Ini hanya
penegasan nyonya. Bukankah saya telah melamar anda sebelum anda meninggalkan
saya. Cincin ini buktinya.”
Dia memainkan
cincin yang tak pernah aku lepas semenjak pertama aku memakainya. Cincin dari
bahan titanium hitam yang dia rancang sendiri. Bodohnya aku, setenang apapun
aku kemarin, secerdik apapun penyamaranku, dia akan tetap mengenaliku dari
cincin ini. Aku menciumnya singkat.
“Ayo, kita
bersiap-siap. Aku akan mengantarkanmu menemui
mereka yang cintanya sama kuatnya dengan kita.”
“Demi dirimu
nyonya Frans.”
“Demi dirimu
tuan Frans.”
***
“Apapun yang kau
lihat aku ingin kau menjaga emosimu. Aku akan terus menggenggam tanganmu. Aku
ingin kita saling menguatkan. Aku membutuhkanmu untuk menguatkanku.”
“Okay.”
Aku bisa
merasakan kegugupnnya. Dia gelisah. Tangan kami berkeringat.
“Kak Galaxy,
Soraya,…?”, suaranya yang tak lebih dari desisan.
“Dia..?”
“Ya, Frans”
“Bagaimana
mungkin? Bagaimana bisa?”, Frans menggeleng tak percaya.
“Dia saat itu
sedang mabuk, Frans.”
“Tapi dia
kakakku! Dia tahu bagaimana aku mencintaimu. Bagaimana aku berjuang
mendapatkanmu.”
“Frans, dia tak
sengaja. Kumohon percaya padanya.”
“Kau yakin itu?
Segampang itu? Kau memang terlalu baik, Neta.”
“Ya. Segampang
itu karena dia kakak dari orang yang mencintaiku. Aku melihat sedikit bagian
dari dirimu setiap aku marah kepadanya.”
“Aku minta maaf
atas kelakuan kakakku, Neta. Aku bingung.”
“Kita bisa
menghadapinya. Dia sudah minta maaf
padaku. Kamu lihat keadaanya sekarang? Dia rapuh, buta. Itu sudah lima tahun
yang lalu.”
“Apa dia
kecelakaan setahun yang lalu? Dia menghilang sejak saat itu, namun dia masih
mengirimi aku email.”
“Soraya yang
melakukannya. Dia sangat mencintai kakakmu sejak kecil. Dia juga terluka atas
apa yang menimpaku. Dia juga tak bisa meninggalkan kakakmu. Apapun keadaan
kakakmu, dia selalu mendampinginya. Kakakmu dulu menolaknya, karna dia merasa
tak pantas untuk Soraya. Soraya bukan gadis lemah. Dia meyakinkan kakakmu yang
putus asa untuk menerimanya sebagai pendamping. Hingga akhirnya dia pun
menyadari Soraya adalah cinta sejatinya.”
“Aku tak tahu
aku harus bagaimana menyikapi ini semua?”
“Apa kau
keberatan dengan statusku yang sudah tak perawan?”
“Apa? Bukan itu. Aku mencintaimu karena kamu
Arneta Nias. Aku tak perduli bagaimana keadaanmu sekarang.”
“Aku mencintaimu
Fransha Prahardi.”
“Kau ingin
menemui mereka?”
“Aku tak mau
membuat kakakmu menangis, menyesali perbuatannya dimasa lalu, di depan
istrinya.”
“Mereka sudah
menikah? Kenapa aku tak tahu?”
“Mereka sudah
menikah tiga bulan yang lalu. Ayah Soraya sudah tahu bahwa yang sebenarnya yang
dicintai Soraya bukan dirimu tapi Galaxy. Orang tua kalian salah paham atas
kedekatanmu dan dia.”
“Soraya hanya
bilang dia mencintai seseorang dan akan menikah dalam waktu dekat. Tapi dia tak
pernah berkata padaku bahwa calon suaminya adalah Galalxy.”
“Resepsi
pernikahan mereka memang akan diadakan setelah Galaxy pulang dari Jerman untuk
pengobatan matanya. Kami memutuskan untuk menutup semua rahasia ini demi
kebaikan kita semua. Ayahnya tak pernah tahu apa yang telah Galaxy perbuat
padaku, yang dia tahu Galaxy kecelakaan mobil dan ada sedikit kerusakan di
matanya. Aku harap kau juga melakukan hal yang sama.”
“Tentu sayang.”
“Mereka akan
berangkat ke Jerman tanggal 13 bulan depan.”
“Hari pernikahan
kita.”
“Apa? Kau
bercanda bukan?”
“Apa ada yang
salah? Aku ingin menikahimu secepatnya. Aku ingin menikah di rumah kita. Dan
renovasi kebun belakang akan selesai paling cepat minggu depan.”
“Jadi
bersediakah kau menikah denganku pada tanggal 13 bulan depan?”
“Kau memintaku
menikahimu dengan berjongkok di depanku di tengah taman rumah sakit? Kau
membuatku malu. Bangunlah?”
“Apa?”
Raut mukanya
menegang. Hal itu membuat senyumku berkembang.
“Apakah nantinya
cincin hanya akan tersimpan di kotak perhiasan. Tidakkah kau lihat ini sangat
cantik?”
Dia terkejut
atas ucapanku. Seketika itu juga dia memelukku.
“Tidak. Tidak
akan berakhir di kotak perhiasan. Dia akan berakhir di jari tengahmu. Aku
mencintaimu Neta”
“Aku mencintaimu
Frans”
***
Pernikahan Frans
dan Arneta digelar di rumah impian mereka. Akhad nikah dilaksanakan pagi hari
dan langsung dilanjutkan pesta kebun sebagai pesta resepsi. Seluruh keluarga,
teman, kenalan, saudara-saudara hadir untuk merestui pernikahan mereka hanya
Galaxy dan Soraya yang tidak hadir, karena mereka telah terbang ke Jerman.
Soraya mengirimkan sebuah gaun pengantin
yang indah untuk dipakai Neta saat pesta kebun. Pesta berlangsung meriah hingga
sore menjelang. Mereka harus meninggalkan pesta untuk berangkat ke Pulau
Mediterania, tempat bulan madu mereka. Seluruh peserta pesta berat melepas
kepergian mereka.
***
“Sudahlah Soraya,
ini sudah dua tahun kepergian mereka. Biarkan mereka tenang disana.”
“Kenapa Tuhan
mengambil mereka secepat ini. Kenapa saat mereka baru saja sah sebagai suami
istri? Tidakkah Tuhan melihat banyaknya rintangan yang telah mereka alami?”
Soraya menangis
seraya meletakkan sebuah karangan bunga mawar putih di tengah 2 buah nisan.
“Mari kita
doakan mereka. Mereka lebih bahagia di sana. Kita kabari mereka bahwa keponakan
kembarnya telah lahir dengan selamat.”
Soraya tak kuat
berdiri, dia bersandar dalam pelukan suaminya sambil membacakan doa. Tak jauh
dari tempat mereka berdoa ada sepasang suami istri berpakaian memperhatikan
mereka yang sedang berdoa.
“ Aku merasa
bersalah terhap mereka dan keluarga yang lain. Apa ini tidak apa apa?”ujar sang
wanita.
“Aku juga. Suatu
saat jika kita telah siap kita akan menemui mereka. Kita tetap akan menemui
mereka”, ujar sang lelaki.
“Siap untuk
pergi nyonya Frans?”
“Kapanpun kau
minta tuan Frans.”
***
The End
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusini komentar kenapa pada diapus??
BalasHapusnaoki lanjutin ceritanya yah, like it,,,
hehehe mb adminny kumat errornya n kebodohanny,,,
Hapusbginilah jdnya,,,
xixixixi
maaf buat semuanya,,,