Aku
masuk ke dunia ini bukan karena keadaan ekonomi yang kacau. Tidak. Ibuku cukup
mampu menyekolahkanku hingga aku sarjana tanpa aku harus bekerja. Ayahku meski
jarang menemuiku namun suplai keuanganku tetap mengalir lancar. Lalu kenapa?
Apa sebabnya? Karena aku memang dilahirkan sebagai pelacur, mungkin memang
begitu.
Ibuku
dulu berprofesi sama sepertiku namun ketika bertemu ayahku dia meninggalkan
profesinya. Dia membuka sebuah butik sekarang. Ayah menikahi ibu tanpa
sepengetahuan kakek dan nenek. Karena mereka tidak setuju perkawinan itu hingga
akhir hayatnya. Setelah meninggal mereka pun tidak lantas menikah karena ayah
telah menikah dengan wanita lain. Pilihan kakek. Kini mereka telah mempunyai
seorang anak yang hampir seumuran denganku. Dia kuliah di universitas yang sama
denganku.
Malam
ini aku telah di bayar dengan bayaran yang cukup besar untuk menemani seorang
pria, menurut informasi yang kudapat dia tak pernah menyentuh tubuh wanita
manapun. Benarkah? Masihkah ada pria didunia ini yang tidak pernah menyentuh
tubuh wanita?
Aku
akan memberikan penampilan yang terbaikku malam ini. Sebuah gaun hitam halter
neck dengan aksen renda dipadu sepatu stiletto emas. Aku memang dibayar sebagai
wanita penghibur. Pelacur seperti itulah mereka menyebutku.
Pukul
21.00 aku telah berada di hotel, sesuai kesepakatan aku akan diantar menuju
kamar orang itu. Ya, itu orang yang membayarku. Sekali lagi aku meneliti
penampilanku.
“Sudah
siap?”, tanyanya.
“Kapanpun
anda siap tuan.”
“Orang
ini memang sedikit kaku namun dia suka wanita cerdas. Dia tak suka wanita yang
terlalu manja. Kau tak perlu tergesa-gesa melakukan tugasmu. Aku harap kau
berhasil membuat dia relaks sejenak, jauh dari pacarnya.”
“Dia
sudah punya pacar?”
“Tablet
dan laptop yang selalu menemaninya. Mereka adalah pacarnya.”
“Tuan
bisa saja bercandanya.”
“Okay
inilah kamarnya. Semoga berhasil”
Aku
hanya menjawabnya dengan senyuman.
***
Pria
ini begitu dingin. Dia tak berbicara denganku semenjak aku masuk tadi. Aku
hanya duduk disebuah sofa bersebrangan dengannya. Dua gelas wine telah aku
teguk untuk menghilangkan rasa canggung yang tak pernah menghampiriku. Dia
hanya melirikku sekilas lalu kembali sibuk dengan tabletnya.
Apakah
ada wanita yang sanggup hidup dengan pria ini? Aku mencoba mengalihkan
kegugupanku namun gagal. Aku sudah berpengalaman dalam hal ini. Namun mengapa
di depannya aku begitu tak berdaya? Dia bahkan belum tersenyum sekalipun.
“Kau
bisa melakukan hal apapun yang kau sukai tapi tolong jangan ganggu aku. Dan kau
bisa langsung tidur kalau kau mau,” akhirnya dia mengeluarkan suara bass-nya.
“Aku
dibayar bukan untuk tidur sendiri, tuan. Aku dibayar untuk menemanimu agar anda
merasa nyaman dan rileks,” aku menyilangkan kakiku, berharap perhatiannya
teralih padaku.
“Apakah
mereka memberimu kamera saku atau sejenisnya untuk membuktikan bahwa kau benar
benar telah menyelesaikan kewajibanmu?”
“Saya
hanya berusaha menyeimbangkan apa yang saya dapat dengan apa yang telah saya
berikan.”
Akhirnya
dia mengalihkan pandangannya kepadaku. Oh Tuhan, mata itu indah sekali. Aku
terasa membeku di hadapannya.”Kamu tak harus tidur denganku supaya sepadan
dengan apa yang kau dapat. Kau cukup tidak bersuara dan tidur dengan tenang.”
Aku
tak pernah terfikir akan mendapatkan jawaban seperti itu dari seorang laki-laki
yang membuat jantungku acak-acakan seperti ini. Ku beranikan diri
menghampirinya duduk disampingnya. Mencoba mengintip. Dia menatap tajam
kepadaku.
“Apa
yang kau lakukan?”
“Mencoba
mengajakmu bicara. Bisakah seorang pelacur jatuh cinta?”
“Apakah
pelacur itu manusia?” aku terkesiap mendengar jawabannya.
“Tentu
saja. Jika pelacur bisa jatuh cinta. Bisakah kau jatuh cinta? Aku tahu kau
seorang manusia.”
“Aku
bisa jatuh cinta. Mengapa kau bertanya seperti itu?”
“Bagaimana
kau bisa jatuh cinta? Kau menutup dirimu. Tak akan ada wanita yang berani
mendekatimu dengan sikap sedingin ini?”
“Kamu
tak tahu apapun tentang diriku jadi jangan menilai diriku. Aku saat ini sedang
jatuh cinta dengan seorang wanita, wanita yang belum aku kenal sepenuhnya namun
aku yakin aku bisa mendapatkan cintanya. Aku akan setia padanya.”
“Aku
yakin dia akan menjadi wanita paling bahagia dicintai pria sepertimu. Asalkan
kau tak membawa soulmate-mu ini saat kalian kencan,” kataku sambil menunjuk
tablet yang dia pegang. Aku memberinya sebuah senyuman termanisku.
Diluar
dugaanku dia tertawa. Tawanya terdengar renyah. Kami menghabiskan sisa malam
itu dengan bercerita panjang tentang kehidupan kami, cita-citanya,
impian-impiannya. Dia bersikeras mengantarkan aku pulang ke apartemen. Dia
kaget. Aku tahu untuk pelacur sepertiku apartemen tempat aku tinggal terasa
sangat berlebihan, ini semua karena ayah dan ibuku tidak ingin aku mengalami
hal-hal buruk karena profesiku.
***
Setelah
malam itu dia sering menghubungiku hanya untuk menghilangkan kepenatannya saat
makan siang. Aku pun juga sudah tak menerima job lagi. Aku jenuh dengan
kehidupan seperti ini. Aku mulai menginginkan kehidupan normal.
Kami
sering menghabiskan akhir pekan bersama. Dia juga sering mengantarkan aku
mengunjungi panti asuhan yang selama ini rutin aku kunjungi. Dia tampak muda dan
bersemangat bersama anak-anak itu. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya.
“Apa
yang ada di fikiranmu?”, dia meninggalkan anak-anak bermain sendiri.
“Kau
tampak gembira dan lebih muda. Minumlah,” kataku sambil mengulurkan minuman
kesukaannya.
“Terima
kasih. Pernahkah kau bermimpi suatu saat akan seperti ini? Dengan anak-anakmu
sendiri.”
“Entahlah.
Aku tak pernah bermimpi untuk menikah. Dengan profesi yang aku anggap masa lalu
itu. Mana ada pria yang akan mau menikahiku? Ha ha ha,” kataku tak acuh. Aku
merasa dia memandangku cukup lama.
“Tatapanmu
itu mampu membunuhku. Aku rasa ini sudah cukup sore. Aku harus segera
menyelesaikan skripsiku. Aku harus lulus semester ini.”
“Ya,
kamu harus segera lulus.”
Aku
tak menanyakan apa maksud perkataanya itu. Kami salling diam bergelut dengan
pikiran kami masing-masing hingga dia mengantarkanku hingga depan apartemenku.
Ucapan selamat malam adalah kalimat perpisahan kami malam itu.
Setelah
malam itu dia kami tidak pernah bertemu lagi selama dua bulan. Dia tak
menhubungiku, aku juga tak mencoba melakukannya. Aku disibukkan dengan
persiapan sidang skripsi akhir bulan ini. Jika tak ada halangan pertengahan
bulan depan aku akan diwisuda.
Aku
melewati sidang dan wisudaku dengan lancar. Ayah dan ibu menghadiri acara
wisudaku. Ibu dan adik tiriku juga datang. Sebuah keluarga yang sempurna bukan?
Kami merayakan kelulusanku dengan makan malam di sebuah restoran ternama.
Awalnya aku menolak namun di acara makan malam ini juga akan hadir ibu dan adik
tiriku, aku tak mungkin mengecewakan mereka, mereka telah begitu baik kepada
kami, mereka merestui hubungan ayah dan ibu.
Malam
itu ibu mendesakku untuk segera mencari lelaki yang serius. Keluargaku telah
mengetahui aku telah meninggalkan duniaku. Aku tak mampu menolak permintaan
ibuku, namun siapa yang mau menerima diriku dengan masa lalu yang tak lazim?
Aku
tak sengaja memandang ke arah meja sebelah. Aku mengenali seseorang sedang
makan malam sendirian. Pria yang membuat jantungku acak-acakan dengan matanya,
pria yang senyumnya mampu membuatku jatuh cinta.
Sebuah
sms aku terima setelah aku berada di kamarku. Dia mengundangku makan malam
untuk perayaan kelulusanku. Aku bingung harus bagaimana namun akhirnya aku
memutuskan untuk menerima undangannya.
Dia
menjemputku seperti janjinya. Dia membawaku makan malam di sebuah restoran
dengan pemandangan yang tak biasa. Restoran ini terkenal di kalangan muda yang
ingin menyatakan cinta. Apakah dia? Aku langsung menepis jauh-jauh pikiran itu.
Kami hanya teman tidak lebih.
Kami
makan seperti biasanya, banyak bersenda gurau. Dia jauh lebih ceria saat ini.
Hingga...
“Aku
telah menemui orang tuamu.”
“A-apa???”
tak percaya aku mendengar ucapannya.
“Aku
meminta ijin untuk memperistri dirimu. Kau wanita yang mampu membuatku sadar
bahwa aku tak sempurna, aku membutuhkan satu tulang rusukku yang hilang. Aku
yakin kau tulang rusukku.”
“Ini
begitu mengagetkanku. Sadarkah kau akan masa laluku? Aku tak percaya kau
melakukan ini tanpa meminta pendapatku,” aku berlari meninggalkannya.
Aku
meninggalkannya begitu saja. Aku tak membiarkannya menjelaskan semuanya. Aku
begitu terkejut. Semuanya begitu tiba-tiba. Aku tau aku juga mencintainya tapi
ada sesuatu yang mencegahku.
Aku
memutuskan untuk menjauh darinya dan keluargaku. Mereka tak henti-hentinya
membujukku. Aku sudah memutuskan.
Frans
yang ku sayang,
Maafkan
aku meninggalkanmu malam itu. Sungguh aku berat untuk menolakmu. Aku begitu
mencintaimu, sangat. Namun rasa takutku lebih besar bila suatu saat aku
menyakitimu. Aku takut masa laluku akan menyaktimu. Aku takut mereka akan
menggunakan masa laluku untuk menghancurkanmu, masa depanmu, karirmu. Sungguh
aku tak sanggup bila itu terjadi padamu. Kamu tak pantas mederita karena
diriku.
Aku
akan menjauh darimu, kehidupanmu. Aku ingin kau mencari wanita lain yang lebih
pantas mendapatkanmu. Lebih aman untuk karir dan masa depanmu.
Jangan
mencariku. Berbahagialah Frans. Aku sealalu berdoa untuk dirimu
Arneta,
yang mencintaimu.
Aku
telah masuk ke dalam taksi yang akan mengantarkanku ke bandara. Aku akan pergi
jauh, ke tempat dia takkan pernah menemukanku. Aku telah menghubungi ayah dan
ibu. Mereka tak bisa mencegah kepergianku. Aku berjanji akan sering memberi
kabar pada mereka.
TAMAT